Sebuah sms masuk, kelip-kelip .... begitulah bunyi sms itu,
Ditengah sebuah ruang yang
lapang, dengan klasa (alas yang terbuat dari semacam bahan plastik yang
dianyam) menjadi penghangat ditengah dinginnya malam. Sebagai pelapis dingin
yang menusuk dari lantai, duduk bersimpuh mendengarkan penuturan dari sesepuh
sinomam putri.
“Ya, giliran selanjutnya”
pintanya
Segera semua mata tertuju pada
yang mendapat giliran
Meniko mbah, kulo dipun kengken
bu a ngaturaken dhaharan, kegem panjenengan” tutur seorang peserta diruang itu
Ditemani dengan lampu kuning yang
menerangi, ku mulai menekan-nekan tombol kotak kecil yang selalu ku bawa
kemanapun aku pergi, send,,, dan sms itupun terkirim. Lalu kulanjutkan menyimak
diskusi malam itu,,,
# # #
Tiba giliranku, sebagai peserta
yang datang terlambat, karena harus menunggu teman yang ternyata ketiduran,
tiba-tiba tidak bisa berkata-kata, kalimat yang seharunya lancar diucapakan
karena sering disuruh ibu untuk mengantar makanan ke tetangga ketika ada
hajatan,,, seakan menghilang entah kemana.
“E eeem .... em”, kataku
terhenti, kulirik teman sebelah, “ini giliran siapa? Saya ato depan saya”,,,,
Berhubung lama dan hanya diam,
akhirnya giliran itupun berlanjut,,, antara gembira dan malu. Beginilah kalau
jarang muncul. Kerena memang jarang bisa berkumpul dengan teman-teman sebaya
ataupun tetangga. Sebagaian besar waktu yang kupunya banyak digunakan untuk
proses pendidikan dan kegiatan disekolah dari smp hingga kuliah.Memang sejak
smp aku memilih bersekolah di tempat yang dianggap favorit, salah satu smp
favorit yang ada ternyata jaraknya lumayan jauh dari rumah. Dengan sepeda kayuh
alias ontel perjalanan ini dapat ditempuh dengan ½ jam olah raga kaki. Melewati
beberapa desa dan hamparan luas sawah yang kadang kuning, hijau atau coklat,
tergantung musimnya.
Walau harus berpisah dengan
teman-teman sepermainan, bahkan merasakan kesendirian dihari pertama masuk,
kujalani dengan sepenuh hati. Karena ini pilihanku,...
Tak banyak waktu yang bisa
kugunakan semasa smp, dengan jarak yang cukup jauh, tugas-tugas yang menumpuk
dan kegiatan sore yang rutin ku ikuti. Sehingga waktu senggang lebih banyak
dimanfaatkan untuk istirahat atau bermain dengan tetangga sebelah rumah.
Begitupun sma dan kuliah, lebih
jauh lagi jarak yang harus kutempuh bahkan harus menjadi komunitas anak-anak
kost, untuk mengoptimalkan pendidikan semasa itu.
Dan hasilnya, siapa yang kemarin
meninggal, tetangga mana yang sudah merantau, menikah bahkan yang punya anak,
akupun tidak tau.
# # #
Kring... sms masuk, iya nich udah mau tidur, merem-melek, balesan
dari teman yang sejak awal suka mengirim sms yang kadang-kadang g penting,
namun cukup membekas dan bahkan sering dinanti-nanti.
# # #
“Sejauh ini, semuanya cukup
fasih, Cuma perlu memperhatikan bahasa yang kita gunakan, pastikan itu kromo
alus(bahasa yang dianggap sopan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua).” Kata
sesepuh sinoman
“Ada yang mau ditanyakan”,
lanjutnya
Beberapa pertanyaan dilontarkan,
dan telah dijawab pula, hingga beliau menyambung dengan mengkisahkan pengalaman
selama menjadi anggota sinoman
“Dulu, sewaktu saya masih menjadi
anggota sinoman kegiatan seperti ini sering dilakukan selama 4 kali dalam sebulan
dengan program yang tertata,” sambil matanya menyapu para peserta diruang itu, “pekan
pertama kerohanian, kedua ketrampilan, ketiga latihan bahasa hantaran, keempat
koordinasi.” Tegasnya mejelaskan
“Walaupun belum terasa manfaatnya
segera, namun setelah bermasyarakat dan berumah tangga hasil didikan itu akan
kita petik. Saya jadi lebih berani untuk menyampaikan sesuatu kepada khalayak
ramai ketika rewang, membantu hajat di tempat tetangga, dan tidak merasa
sungkan lagi, selain itu, ketika berbaur dengan masyarakat kita tidak akan
kagok atau salah tingkah bahkan sudah bisa menempatkan diri secara otomatis. Dengan
demikian kita akan lebih mudah diterima dilingkungan tersebut, “jelasnya dengan
penuh semangat...
“Saya rasa cukup untuk pertemuan
kali ini, kapan-kapan bisa dilanjutkan lagi, saya mohon pamit.” Sembari mengulurkan
tangannya menjabat seluruh peserta yang ada di ruang itu
Dan sebagai penutup salampun
segera digemakan, dan serempak kami menjawabnya...
# # #
Sebuah fragmen kehidupan, bahwa
manusia memang makhluk sosial yang tak bisa lepas dari manusia lainnya,
bayi butuh ibu untuk menyuapi, memandikan, bahkan untuk
berjalan dia butuh orang lain
semasa kanak-kanak mereka butuh teman untuk bermain, guru
untuk mengajarinya berbagai ilmu, dan tentu saja orang tua yang mengajarinya
kepribadiannya
dewasa pun mereka akan terjun kedalam lingkungan keluarga
dan masyarakat yang berada ditempat tinggalnya
bahkan ketika kita matipun butuh orang untuk mengurusi
kematian kita
disinilah pentingnya untuk bersosialisasi
tentu saja sebagai manusia yang mempunyai visi, bukan hanya
bisa bersosialisasi saja yang harus didapatkan namun, kemanfaatan itu senantiasa
menyertai dengan keberadaan kita disana.
Kemanfaatan bagi masyarakat, bagi lingkungan sekitar, bahkan
bagi peradaban.
“ Nyebur
dulu baru digugu “
Begitulah kiranya kalimat yang
tepat ketika kita kelak menginjakkan kaki di dakwah masyarakat, seperti klimaks
cerita, ketika kita sudah terbiasa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar,
kita akan mudah diterima lingkungannya. Sehingga ketika pintu sudah dibuka mau
bawa rambutan, gula teh, pisang, surat undangan ataupun hanya sekedar badan
akan tetap dipersilahkan masuk oleh yang punya rumah. Dengan demikian tujuan
kitapun dapat tersampaikan,...